BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Sunday 24 October 2010

Pengaruh Ibadah Bagi Seorang Muslim

Syariat Islam yang mencakup akidah (keyakinan), ibadah dan mu’amalah, diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Karena termasuk fungsi utama petunjuk Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari semua kotoran dan penyakit yang menghalanginya dari semua kebaikan dalam hidupnya.
Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (hati/jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS Ali ‘Imraan:164).

Makna firman-Nya “mensucikan (Hati/jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[1].
Maka kebersihan hati seorang muslim merupakan syarat untuk mencapai kebaikan pada dirinya secara keseluruhan, karena kebaikan seluruh anggota badannya tergantung dari baik/bersihnya hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

“Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal (daging), yang kalau segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh (anggota) tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh (anggota) tubuhnya), ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (manusia)“[2].

Hikmah Agung Disyariatkannya Ibadah
Inilah hikmah agung disyariatkannya ibadah kepada manusia, sebagaimana yang Allah Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[3] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan dan kemashlahatan merupakan sifat yang selalu ada pada semua ibadah dan petunjuk yang diserukan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini sekaligus menjelaskan manfaat dan hikmah agung dari semua ibadah yang Allah Ta’ala syariatkan, yaitu bahwa hidup (bersih dan sucinya)nya hati dan jiwa manusia, yang merupakan sumber kebaikan dalam dirinya[4], hanyalah bisa dicapai dengan beribadah kepada Allah dan menetapi ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya r[5].

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – menjelaskan hikmah yang agung ini dalam ucapan beliau,
“Bukanlah tujuan utama dari semua ibadah dan perintah (Allah dalam agama Islam) untuk memberatkan dan menyusahkan (manusia), meskipun hal itu (mungkin) terjadi pada sebagian dari ibadah dan perintah tersebut sebagai (akibat) sampingan, karena adanya sebab-sebab yang menuntut kemestian terjadinya hal tersebut, dan ini merupakan konsekwensi kehidupan di dunia. Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah:”Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS.Yuunus:57-58)[6].

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan (ibadah) itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”[7].

Pengaruh Positif Ibadah bagi Seorang Muslim
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami akan sampaikan beberapa poin penting yang menunjukkan besarnya pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dilaksanakan seorang muslim dalam hidupnya.

1- Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat
Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[8].
Sebagaimana orang yang berpaling dari petunjuk Allah dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124)[9].

2- Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang dihadapi

Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[10].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4). Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[11].

3- Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Abbas

((احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك))

“Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“[12].
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[13]. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu[14].

Keutamaan yang agung ini hanyalah Allah Ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat sebagai wali (kekasih) Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu melaksanakan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang wajib maupun sunnah (anjuran). Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari pada (ibadah) yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib) sehingga Akupun mencintainya…“[15].

4- Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً))
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“[16].

Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[17].

Sifat inilah yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}

“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).

5- Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah
Allah Ta’ala berfirman,

{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah[18] berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”[19].

Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang muslim yang merasakan kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka setelah itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia tidak akan mau berpaling dari keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan tersebut menjadi ringan baginya.

Gambaran inilah yang terjadi pada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keteguhan mereka sewaktu mempertahankan keimanan mereka menghadapi permusuhan dan penindasan dari orang-orang kafir Quraisy, di masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, yang kisah ini dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan waktu itu, “Apakah ada di antara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada“. Kemudian Hiraql berkata, “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia“[20].

Penutup
Beberapa poin yang kami sebutkan di atas jelas sekali menggambarkan kepada kita besarnya manfaat dan pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dikerjakan oleh seorang muslim bagi dirinya. Masih banyak poin lain yang tentu tidak mungkin disebutkan semuanya.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi kita untuk semakin giat dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, serta berusaha untuk membenahi amal ibadah yang sudah kita lakukan selama ini agar benar-benar sesuai dengan petunjuk dan syariat Allah Ta’ala.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 18 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA
Artikel www.muslim.or.id

Keagungan Akhlak Rasulullah SAW

"Saudaraku, Islam sampai kepada kita saat ini tidak lain berkat jasa Baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai seorang penyampai risalah Allah SWT yang benar dan di redhai. Dan nanti di padang mahsyar, setiap umat Islam pasti akan meminta syafa’at dari beliau SAW dan menginginkan berada di barisan beliau SAW. Namun, pengakuan tidaklah cukup sekedar pengakuan.

Pasti yang mengaku umat beliau SAW akan berusaha mengikuti jejak beliau dengan jalan mengikuti sunnah-sunnah beliau dan senantiasa membasahi bibir ini dengan mendo’akan beliau dengan cara memperbanyak berselawat kepada beliau SAW.

Sejarah tak akan mampu mengingkari betapa indahnya akhlak dan budi pekerti Rasulullah tercinta, Sayyidina Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam hingga salah seorang isteri beliau, Sayyidatina A’isyah Rodhiyallahuanha mengatakan bahawa akhlak Rasulullah adalah “Al-Qur’an”. Tidak satu perkataan Rasulullah merupakan implementasi dari hawa nafsu beliau, melainkan adalah berasal dari wahyu ilahi. Begitu halus dan lembutnya perilaku seharian beliau. Rasulullah SAW adalah sosok yang mandiri dengan sifat tawadhu’ yang tiada tandingnya.

Beliau pernah menjahit sendiri pakaiannya yang koyak tanpa harus menyuruh isterinya. Dalam berkeluarga, beliau adalah seorang yang ringan tangan dan tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan istrinya di dapur. Selain itu dikisahkan bahwa beliau tiada merasa canggung makan disamping seorang tua yang penuh kudis, kotor lagi miskin. Beliau adalah seorang yang paling sabar dimana ketika itu pernah kain beliau ditarik oleh seorang badui hingga membekas merah dilehernya, namun beliau hanya diam dan tidak marah.

Dalam satu riwayat dikisahkan bahawa ketika beliau mengimami solat berjemaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap kali beliau berpindah rukun terasa susah sekali dan terdengar bunyi yang aneh. Selepas solat, salah seorang sahabat, Sayyidina Umar bin Khatthab bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah baginda menanggung penderitaan yang amat berat. Sedang sakitkah engkau ya Rasulullah? “Tidak ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar.” Jawab Rasulullah. “Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi tubuh baginda saling bergesekkan? Kami yakin baginda sedang sakit”. Desak Sayyidina Umar penuh cemas.

Akhirnya, Rasulullahpun mengangkat jubahnya. Para sahabatpun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah SAW yang kempis tengah di lilit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata, batu-batu kerikil itulah yang menimbulkan bunyi aneh setiap kali tubuh Rasulullah SAW bergerak. Para sahabatpun berkata, “Ya Rasulullah, adakah bila baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untuk tuan?”. Baginda Rasulullah pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawapanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.

Teramat agung pribadi Rasulullah SAW sehingga para sahabat yang ditanya oleh seorang badui tentang akhlak beliau SAW hanya mampu menangis karena tak sanggup untuk menggambarkan betapa mulia akhlak beliau SAW. Beliau diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai suri tauladan yang baik sepanjang zaman.
Saudaraku, sungguh kehadiran Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia lewat segala hal yang beliau contohkan kepada umat manusia. Beliau tidak pernah pandang bulu dalam hal menghargai manusia, penuh kasih sayang, tidak pernah mendendam, malahan beliau pernah menangis ketika mengetahui bahwa balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala hingga menginginkan umat manusia untuk meng-esakan Allah SWT.

Cukup kiranya beliau yang jadi suri tauladan kita, umat Islam khususnya yang hari ini sebagian sudah sangat jauh dari akhlak Rasulullah, baik dalam tindakan maupun perkataan yang menyejukkan. Apa yang dikatakan oleh seorang sastrawan Pakistan, Muhammad Iqbal dalam salah satu karyanya dapat kita jadikan renungan bersama dimana beliau berkata: “Barangsiapa yang mengaku umat Nabi Muhammad, hendaklah berakhlak seperti beliau (Nabi Muhammad)”.

Dalam salah satu hadits dikatakan bahwa “Belum beriman seseorang sehingga aku (Rasulullah Muhammad SAW) lebih dicintainya daripada ayahnya, anak-anaknya dan seluruh manusia”(HR. Bukhari). Kita tidak tahu apakah nanti akan di akui Rasulullah sebagai umatnya atau tidak kelak di yaumil kiamah. Namun satu yang pasti bahwa semua ingin berada di barisan beliau. Maka, marilah kita sama-sama berusaha untuk mengikuti akhlak beliau SAW semampu diri kita, sebagai suri tauladan kita yang utama, memperbanyak ucapan selawat untuknya, membela sunnahnya, bukan malah membelakanginya (mari berlindung dari hal demikian), sebagai bagian dari rasa cinta kita terhadapnya.

Saudaraku, mari kita sampaikan salam dan selawat kepada beliau SAW, yang dengannya kita akan beroleh cinta dan Syafa’atnya kelak di yaumil mahsyar. insya Allah…Amiin.
Allahumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad, wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’iin…
http://feryco.com/keagungan-akhlak-rasulullah-saw

The Big Questions, Part II—The Purpose of Life

The Big Questions, Part II—The Purpose of Life by Dr. Laurence Brown (reproduced with permission)

The first of the two big questions in life is, “Who made us?” We addressed that question in the previous article and (hopefully) settled upon “God” as the answer. As we are creation, God is the Creator.
Now, let us turn to the second “big question,” which is, “Why are we here?” Well, why are we here? To amass fame and fortune? To make music and babies? To be the richest man or woman in the graveyard for, as we are jokingly told, “He who dies with the most toys wins?”

No, there must be more to life than that, so let’s think about this. To begin with, look around you. Unless you live in a cave, you are surrounded by things we humans have made with our own hands. Now, why did we make those things? The answer, of course, is that we make things to perform some specific function for us. In short, we make things to serve us. So, by extension, why did God make us, if not to serve Him?

Our purpose, then, is to serve God. We receive this message from the prophets, as well as from scripture, but nowhere more clearly than in the Qur’an, the holy book of Islam: “And I [God] did not create the jinn and mankind except to worship Me” (TMQ 51:56).

Which brings us to the next point. If we acknowledge our Creator, and that He created humankind to serve Him, the next question is, “How? How do we serve Him?” No doubt, this question is best answered by the One who made us. If He created us to serve Him, then He expects us to function in a particular manner, if we are to achieve our purpose. But how can we know what that manner is? How can we know what God expects from us?

Well, consider this: God gave us light, by which we can find our way. Even at night, we have the moon for light and the stars for navigation. God gave other animals guidance systems best suited for their conditions and needs. Migrating birds can navigate, even on overcast days, by light polarization. Whales migrate by “reading” the Earth’s magnetic fields. Salmon return from the open ocean to spawn at the exact spot of their birth by smell, if that can be imagined. Fish sense distant movements through pressure receptors that line their bodies. Bats and the blind river dolphins “see” by sonar. Certain marine organisms (the electric eel being a high-voltage example) generate and sense magnetic fields, allowing them to “see” in muddy waters, or in the blackness of ocean depths. Insects communicate by pheromones, the trail of which guides them to food, and then home again. Plants sense sunlight and grow towards it (phototrophism); their roots sense gravity and grow into the earth (geotrophism). In short, God has gifted every element of His creation with guidance. Can we seriously believe he would not give us guidance on the one most important aspect of our existence, namely our raison d’etre—our reason for being? That he would not give us the tools by which to achieve salvation?
Of course not. Hence, revelation.

Think of it this way: Every product has specifications and rules. For more complex products, whose specifications and rules are not intuitive, owner’s manuals are provided. These manuals are written by the one who knows the product best, which is to say the manufacturer. A typical owner’s manual begins with warnings about improper use and the hazardous consequences thereof, moves on to a description of how to use the product properly and the benefits to be gained thereby, and provides product specifications and a troubleshooting guide whereby we can correct product malfunctions.

How is that different from revelation?
Revelation tells us what to do, what not to do and why, tells us what God expects of us, and shows us how to correct our deficiencies. Revelation is the ultimate user’s manual, provided as guidance to the one who will use us—ourselves.
In the world we know, products that meet or exceed specifications are considered successes whereas those that don’t are … hmm … let’s think about this. Any product that fails to meet factory specifications is either repaired or, if hopeless, recycled. In other words, destroyed. Ouch. Suddenly this discussion turns scary-serious. Because in this discussion, we are the product—the product of creation.

But let’s pause for a moment and consider how we interact with the various items that fill our lives. As long as they do what we want, we’re happy with them. But when they fail us, we get rid of them. Some are returned to the store, some donated to charity, but eventually they all end up in the garbage, which gets … buried or burned. Similarly, an underperforming employee gets … fired. Now, stop for a minute and think about that word. Where did that euphemism for the punishment due to an underperformer come from? Hm … the person who believes the lessons of this life translate into lessons about religion could have a field day with this.
But that doesn’t mean these analogies are invalid. Just the opposite, we should remember that both Old and New Testaments are filled with analogies, and Jesus Christ taught using parables.

So perhaps we had better take this seriously.
No, I stand corrected. Most definitely we should take this seriously. Nobody ever considered the difference between heavenly delights and the tortures of hellfire a laughing matter.

13 steps to memorize the Qur’an by Yasir Qadhi

Realize it’s a spiritual AND physical project. It’s a miracle and blessing from Allah subhanahu wa ta’ala that you’re able to absorb the Qur’an. If you want to take advantage of this blessing, you should be in a position to receive it and therefore strive physically to achieve it and strive spiritually to get the maximum benefit.

1. Sincerity. The first matter you have to pay attention to is your intention (if you intend good you will get good). Make sure that the intention you are making is only for the sake of Allah SWT, to seek His Pleasure so that inshAllah, with His Mercy, we will be rewarded in the Aakhirah. It is not to show off in front of others that you have memorized a lot. Sincerity is not a one time factor rather it’s a continual battle that you always have to renew.

2. Consistency . The more frequently you memorize, the easier it becomes. It is very essential to be consistent, and not to skip even one day. There is no Week-end in worship. The bare minimum that one should memorize is at least 3 lines, 5 is more ideal. If you are consistent, inshAllah, you will be able to be huffadh in 5-6 years

3. Timing. The first thing you should do in the day is memorize – even do so before your breakfast, because this is your spiritual breakfast. The best time to memorize is right after Fajr. . (sh. Yasir used to take one hour to memorize a page in the beginning, and eventually came down to 15-20 minutes)

4. Atmosphere. Have a secluded place to go to and memorize in a place that is quiet. You just can’t memorize properly with distractions, so turn off all your devices (like cell phones)

5. Familiarity: start at the same time, at the same place and use the same mushaf every day. You need to have your own copy of the Mushaf (the Madani Mushaf is highly recommended), it will later become so dear to you.

6. No Magic trick: repeat, repeat, repeat, over and over again. It is just repetitive recitation and/or listening that will help to memorize.

7. Memorize with the meaning: read the translation before you start and try to match the Arabic words with their meanings

8. Surround yourself with recitation: listen to the Qur’an. Before you start memorize, listen to what you are about to memorize. Sh. Husary is highly recommended (see here the best resources to help you memorize)

9. Find a recitation buddy: get a friend, a family member or someone you know who will listen to your recitation every day. Ideally, get someone who is also memorizing to create a peer pressure system.

10. Recite daily in your salaat what you have memorized. If you forget one portion, you will immediately rush towards the Qur’an and correct your mistake and you will never do this mistake again.

11. Triple daily dose:
a)New memorization at your assigned time of the day
b)Revision of the previous 7 days, just before you start the new memorization: This is because the fastest thing you forget is the new memorization. And doing so, will also build the connector between the old ones and the new portion you are going to memorize. Plus, it will be a good warm up for the brain when you recall from your memory and recite, before you go into the real exercise of doing the new memorization.

c)At a later/another time of the day, revise those before the recent 7 days. The bare minimum should be 4-5 pages.

12. Do not jump around. Be consistent. Don’t try to go to another surah if you find it difficult and stick to the order. That way, you will have the satisfaction of having completed a juz rather than leaving some portions here and there.

13. The three chunks. Start from the back. Shorter surahs will bring you a big boost. You should divide the memorization of the Qur’an in three parts:

a)Juz 28, 29, 30 or just Juz 29, 30
b)Surah Al-Kahf till Juz 28
c)Surah Al-Baqara to Surah Al-Kahf
(JazakAllah Kheir to those who shared their notes from the class)

Unta : Kita tidak memerhatinya?

Lima puluh lima darjah celcius adalah suhu yang panas membakar. Itulah cuaca yang amat panas di padang pasir, daerah yang nampak tidak bertepi dan terhampar luas sehingga di kejauhan. Di sini terdapat ribut pasir yang menelan apa saja yang dilaluinya, dan ianya sangat mengganggu pernafasan. Padang pasir bererti kematian yang tidak dapat dielakkan bagi seseorang tanpa pelindungan yang terperangkap di dalamnya. Hanya kenderaan yang secara khusus dibuat untuk tujuan ini sahaja yang dapat bertahan dalam keadaan gurun ini.

Kenderaan apapun yang berjalan dalam keadaan yang panas menyengat di gurun pasir harus direka untuk mampu menahan panas dan terpaan ribut pasir. Selain itu, ia harus mampu bergerak jauh dengan sedikit bahan bakar dan sedikit air. Mesin yang paling mampu menahan keadaan sulit ini bukanlah kenderaan bermesin, melainkan seekor binatang yakni unta.

Ya unta!! Atau nama inggerisnya "Camel" .

Unta telah membantu manusia yang hidup di gurun pasir sepanjang sejarah, dan telah menjadi simbol bagi kehidupan di gurun pasir. Panas gurun pasir boleh menjadi penyebab kematian bagi makhluk lain. Selain sejumlah kecil serangga, reptilia dan beberapa binatang kecil lainnya, tidak ada binatang yang mampu hidup di sana. Unta adalah satu-satunya binatang besar yang dapat hidup di sana. Allah telah menciptakannya secara khusus untuk hidup di padang pasir, dan untuk melayani kehidupan manusia. Allah mengarahkan perhatian kita pada penciptaan unta dalam ayat berikut:

أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan.

(QS. Al-Ghaasyiyah, 88:17)

Jika kita amati bagaimana unta diciptakan, kita akan menyaksikan bahawa setiap bahagian terkecil dari unta adalah keajaiban penciptaannya. Yang sangat diperlukan pada situasi panas membakar di gurun adalah air tetapi sulit untuk bertemu dengan air di sini. Menemukan sesuatu yang dapat dimakan di hamparan pasir tidak bertepi juga nampak mustahil. Jadi, binatang yang hidup di sini harus mampu menahan lapar dan haus, dan unta telah diciptakan dengan kemampuan ini.

Unta dapat bertahan untuk hidup sehingga lapan hari pada suhu lima puluh darjah celcius tanpa makanan atau minuman. Ketika unta yang mampu berjalan tanpa minuman dalam waktu lama ini bertemu dengan sumber air, ia akan menyimpannya. Unta mampu meminum air sebanyak satu pertiga berat badannya dalam waktu sepuluh minit. Ini bererti kira-kira seratus tiga puluh liter dalam sekali minum dan tempat penyimpanannya adalah di bonggol unta. Sekitar empat puluh kilogram lemak tersimpan di sini. Hal ini menjadikan unta mampu berjalan berhari-hari di gurun pasir tanpa makanan.

Kebanyakan makanan di gurun pasir adalah kering dan berduri. Namun sistem pencernaan pada unta telah diciptakan sesuai dengan keadaan yang sulit ini. Gigi dan mulut binatang ini telah dirancang untuk memungkinkannya memakan duri tajam dengan mudah. Sungguh hebat Sang Unta ini bukan ??

Perutnya memiliki rekaan khusus dan tersendiri sehingga cukup kuat untuk mencerna hampir semua tumbuhan di gurun pasir. Angin gurun yang muncul tiba-tiba biasanya menjadi pertanda kedatangan ribut pasir. Butiran pasir menyesakkan nafas dan membutakan mata. Tetapi, Allah telah menciptakan sistem perlindungan khusus pada Unta sehingga ia mampu bertahan terhadap terpaan ribut pasir ini. Kelopak mata Unta melindungi matanya dari debu dan butiran pasir.

Namun, kelopak mata ini juga "transparent" atau tembus cahaya, sehingga Unta tetap dapat melihat meskipun dengan mata tertutup. Bulu matanya yang panjang dan tebal khusus diciptakan untuk mencegah debu masuk ke dalam matanya. Terdapat pula rekaan khusus pada hidung unta. Ketika ribut pasir menerpa, ia menutup hidungnya dengan penutup khusus. Canggihkan ciptaan Allah?? Subhanallah.

Salah satu bahaya terbesar bagi kenderaan yang bergerak di gurun pasir adalah terjerumus ke dalam pasir. Tetapi ini tidak terjadi pada Unta, sekalipun ia membawa muatan seberat ratusan kilogram kerana kakinya diciptakan khusus untuk berjalan di atas pasir. Telapak kaki yang lebar menahannya dari tenggelam ke dalam pasir dan berfungsi seperti papan luncur ais. Kaki yang panjang menjauhkan tubuhnya dari permukaan pasir yang panas membakar di bawahnya. Tubuh Unta tertutup oleh rambut lebat dan tebal. Ini melindunginya dari sengatan sinar matahari dan suhu padang pasir yang dingin membeku setelah matahari terbenam.

Beberapa bahagian tubuhnya dilitupi sejumlah lapisan kulit pelindungan yang tebal. Lapisan-lapisan tebal ini ditempatkan di bahgian-bahgian tertentu yang bersentuhan dengan permukaan tanah saat ia duduk di pasir yang amat panas. Ini mencegah kulit unta agar tidak terbakar. Lapisan tebal kulit ini tidaklah tumbuh dan terbentuk perlahan-lahan tetapi unta memang dilahirkan sedemikian. Rekaan khusus ini memperlihatkan kesempurnaan penciptaan unta.

Marilah kita renungkan semua ciri-ciri unta yang telah kita saksikan. Sistem khusus yang memungkinkannya menahan haus, bonggol yang memungkinkannya berjalan tanpa makanan, struktur kaki yang menahannya dari tenggelam ke dalam pasir, kelopak mata yang tembus cahaya, bulu mata yang melindungi matanya dari pasir, hidung yang dilengkapi rekaan khusus anti-badai pasir, struktur mulut, bibir dan gigi yang memungkinkannya memakan duri dan tumbuhan gurun pasir, sistem pencernaan yang dapat mencerna hampir semua benda, lapisan tebal khusus yang melindungi kulitnya dari pasir yang panas membakar, serta rambut permukaan kulit yang khusus dirancang untuk melindunginya dari panas dan dingin.

Tidak satupun dari semua ini dapat dijelaskan oleh logik teori evolusi dan kesemuanya ini menyatakan satu kebenaran yang nyata iaitu Unta telah diciptakan secara khusus oleh Allah untuk hidup di padang pasir dan untuk membantu kehidupan manusia di tempat ini. Begitulah, kebesaran Allah dan keagungan ciptaan-Nya nampak nyata di segenap penjuru alam ini dan Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu. Allah menyatakan hal ini di dalam ayat Al-Quran:
إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا

Sesungguhnya, Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan - Nya meliputi segala sesuatu.

(QS. Thaahaa, 20:98)

Sumber : Dipetik daripada KCB Yahoo groups, harunyahya.

Reflections from Mecca (Makkah) and Madinah on my Umrah Trip

I was sitting on my couch, staring at the wall the other day, and a feeling of great sadness overcame me; I realized that I was back in the dunya (worldly life). You see, I had spent the previous eleven days in Mecca and Madinah and for those of you who have been to these blessed places, you know that it’s as if you’ve temporary left the dunya and entered into a spiritual haven of serenity. What an amazing journey!

The following are simply some of my reflections/takeaways from my trip. For those of you who have been there before, these words will insha Allah bring forth some memories to the forefront of your consciousness; those who have not, insha Allah these words will serve as motivation for you to plan your first trip ASAP! One thing’s for sure…this trip is unlike any other that you’ll ever take in your life.
Why am I so attached to the dunya (the worldly life)?

Probably the most beautiful thing about the trip was the re-emphasis it gave me to focus my life on the akhira (the next life). As I was sitting there in the haram (name for the holy mosques in Mecca and Madina), staring at the Ka’ba I felt like I was getting a little piece of heaven. My mind, body and soul were completely at peace and I started to think why I sweat the dunya so much? Why was I allowing the little day to day affairs of my life consume my thoughts? Why had my goals become all dunya-based goals? Why was my ibadah (worship) slacking? Why hadn’t I prayed Tahajjud (the prayer in the latter parts of the night) lately?

Basically, why was my heart attached to the dunya, when it neither gave me the peace or satisfaction that I desired? Sitting in Mecca staring at the Ka’bah reminded me of what my focus should be.

This is how life is supposed to be lived
Mecca as those of you who have been there know quite well, is a very busy place! Whether it’s pacing between the hills of Safa and Marwa, walking around the Ka’ba during tawaf, changing into your oh-so comfortable ihram (can you sense the sarcasm), getting your haircut, playing human frogger through the Meccan traffic (only the old school Atari readers will get that one), or just standing up for long prayers; Mecca kept me busy!

But then I took that lovely bus ride through the desert to Madinah and then ahhhhhhh; relief!!! In Madinah, life is the complete opposite of Mecca; it is slow and laid back. My schedule in Madinah was completely centered on the five daily prayers and any other acts of worship that I wanted to perform. And as I sat there in the Prophet’s mosque, I thought to myself ‘now this is how life is supposed to be lived.’ Life is supposed to be focused first on worship and then matters of the world, but unfortunately most of the time it is the exact opposite.

In the footsteps of the Greatest
I was blessed to be able to spend a lot of time in the Prophet’s mosque in Madinah. In particular, I was especially blessed to spend a lot of time in the Rawdah (the area of the original mosque built by the Prophet peace be upon him and his companions). As you all know, praying in this area is equivalent to praying in heaven. Sitting in this blessed area, I was looking up and imagining how it must have looked at the time of the Prophet (peace be upon him). I imagined him standing on the minbar (pulpit) and giving his weekly sermon; and I imagined the sahabah (his companions) sitting there and listening. These thoughts brought so many tears of joy; knowing that I was literally sitting where the greatest generation of human beings once sat.

Of course, right next to the Rawdah is where the Prophet peace be upon him’s original house once was and where he is now buried. An overwhelming sense of awe overcame me while walking by the grave of the Prophet (peace be upon him) and the graves of Abu Bakr and Omar. I was standing about fifteen feet away from the greatest man that has ever walked the face of this earth and his beloved companions (may God be pleased with them). I said salam to them as I walked by and just prayed for God to allow me to be in their company in the hereafter.

The Legacy of the Ansaar lives on
I was blessed to be able to experience this trip with one of my oldest and dearest friends. My friend knew a family that lived in Madinah and that family was kind enough to invite us to dinner one night. They lived in part of town that was not a wealthy area at all; and they lived in a house that many of us from the west would never consider living in. But as soon as I met Uncle Syed, I knew that he and his family were blessed in ways that transcend the material world.

The house was full of family, friends and love. They brought out the delicious home cooked food for us and placed it on the floor; and all of us sat on the floor and ate together. They did this on a nightly basis; the whole family gathered and ate on the floor together.

After our wonderful meal, Uncle Syed was not satisfied with our one visit. He asked us to come every single day for breakfast and dinner. He said that he would come and pick us up since we did not have a car, and take us to his house for the two meals each day until we left Madinah. I thanked Uncle Syed for his generosity and he told me not to be thankful, because I was in the Prophet’s city and it was his duty to take care of me until I left; however long that would be. Subhan Allah! I’m sure the Ansaar (may God grant them peace) would be happy to know that their legacy lives on in Uncle Syed and others like him.

Countless Blessings
The rewards and the blessings that one receives while in these blessed cities are compounded immensely. Here are some of the rewards that can only be had in these two cities:

•The reward of one prayer in either the Haram in Mecca or the Prophet’s mosque is Madinah is equivalent to 1,000 prayers elsewhere.
•The reward for making Umrah (the minor pilgrimage) is to have all of your previous sins forgiven
•The reward for praying two rakah in Masjid al-Quba in Madinah is equal to the reward of making Umrah

•The reward of praying in the Rawdah in the Prophet’s mosque is like praying in Junnah (heaven)
•The reward of tawaf can only be had in Mecca
•Any good that you do in the haramain (the two mosques) are multiplied i.e. reading Quran, praying extra prayers, etc.

•The dua that you make while hanging on the multazim (the door of the Ka’ba) are accepted insha Allah
•The dua that you make the first time you see the Ka’ba is accepted by Allah insha Allah

•The reward of doing sa’i (walking between the hills of Safaa and Marwaa) is something that you can only get in Mecca
•The dua that one makes before drinking Zam Zam will be accepted insha Allah
And the list goes on and on…

All in all, this was without a doubt the trip of a lifetime and I look forward to the day that Allah invites me again to His House and his beloved cities of Mecca and Madinah.

I ask that Allah accepts from us all the good that we do in this life.
I ask that Al Kareem blesses us all to visit his House and Madinah frequently.
I ask that Al Ghafaar forgives us of all our sins; and that Ar Raheem has mercy upon us on the day that we most need His Mercy.
Ameen.

The Humor of the Messenger of Allah

Bismillah
If we were asked to name instances where the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam displayed bravery, shed tears or gave advice to his Companions, we would be able to do so easily. But how many of us can name at least three times where the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was seen laughing or making others laugh?

Muslims need to lighten up and embrace this sunnah of the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam. Righteousness does not equate to frowning and looking scary—not only is it counterproductive, but it’s against the sunnah of the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam. The scholars and du’aat who truly follow this sunnah today are the ones who are loved by the people because their humor brings out their gentleness and approachability, such as Shaykh ibn Uthaymeen rahimahullah who gave some extraordinary answers during his classes that are still being shared by his students.
The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was complete in all aspects of his character and had a great sense of humor that even makes us laugh today.

From his life we also learn the etiquette of laughter and humor. The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam did not normally laugh to a point where his molar teeth were seen (except for a few instances) or laugh so hard that he would shake. Furthermore, unlike nowadays, he did not seek humor in making fun of others or in a vulgar fashion regarding vulgar topics. He also narrated to us that we should not lie to make people laugh, “Woe to the one who tells lies to make people laugh, woe to him.” [Abu Dawood]. Read more on the conditions of permissible joking here.

We must also keep in mind that the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was moderate in his laughter, just as he was moderate in all facets of his life. He sal Allahu alayhi wa sallam warned us against laughing too much, and told us of the danger it poses to the heart when he said: “Do not laugh too much, for laughing deadens the heart.” [Tirmidhi, ibn Maajah]

Let’s look to the life of the Messenger of Allah and share a few beautiful accounts that show his sense of humor.

A Smile
Jareer ibn Abdullah Al-Bajali radi Allahu anhu narrated, Allah’s Apostle did not screen himself from me since my embracing Islam, and whenever he saw me he would receive me with a smile. Once I told him that I could not sit firm on horses. He stroked me on the chest with his hand and said, “O Allah! Make him firm and make him a guiding and a rightly-guided man.” [ibn Maajah, Graded Saheeh by Shaykh Albaani in Saheeh ibn Maajah]
Points of benefit:

a) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam made each of his companions feel special. This is an attribute of a successful teacher, as each of his students will feel they have a special place with him.

b) Think about it: do you know anyone who smiles at you every time you see him/her? SubhanAllah, the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was a mercy for all of creation. Jareer radi Allahu anhu said that since he accepted Islam, the Prophet alayhi salaatu wa salaam would always smile at him. Try for one day to smile in the face of one person and see how it goes.

c) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was easily accessible to the people. It is hard for us nowadays to reach an influental person, yet the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was readily available for his followers. As teachers and Imams in our communities, we should reflect upon this nature of our Messenger alayhi salaatu wa salaam and intend to act upon it.

d) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam made duaa for Jareer, even for something as small as sitting firmly on his horse. This is a reminder for us to always turn to Allah in every situation, make duaa for ourselves and others, even if it’s something that we feel is insignificant.

The She-Camel
Anas ibn Malik radi Allahu anhu narrated that a man came to the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam and said, “O Messenger of Allah! I want you to give me a camel to ride upon.” The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam said, “All that I can find for you is a child of a she-camel.” The man turned around and walked away, disappointed that the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam wanted to give him a baby camel upon which to ride. The Prophet sal Alalhu alayhi wa sallam then called him back and said, ‘And is not every camel (be it old or young) the child of a she-camel! [Abu Dawood, Graded Saheeh by Albani in Saheeh Abi Dawood]

Points of benefit:
a) The Companions regularly asked the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam for help/assistance, as they knew he would help them.

b) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam called him back to explain the joke. Imagine having the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam explain his joke to you!

Old Women in Jannah
Hasan radi Allahu anhu narrated that an old woman went to the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam and asked him to pray to Allah for her entry into Jannah. The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam said, “O mother of so-and-so, no old woman enters Paradise.” On hearing this, the old woman returned weeping. The Prophet sal Alllahu alayhi wa sallam then called her back and said, Did you not hear the saying of Allah:

إنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاءً
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
عُرُبًا أَتْرَابًا

“Verily, We have created them (maidens) of special creation. And made them virgins. Loving (their husbands only), (and) of equal age.” [56:35-37]
Points of benefit:

a) Women had access to the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam.
b) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam gave tafseer of the ayat from Surah Waqi’ah. Regardless of the age the believing woman died in, she will enter Jannah young.

c) Instead of giving her a straight answer, “yes you will enter Jannah”, the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam made the answer special for her—telling her that she will not only enter Jannah but will enter it in a state of youth.
d) The old woman, radi Allahu anha, cried profusely when she thought she was denied entry into Jannah.

With Allah you are Expensive
Anas ibn Malik radi Allahu anhu narrated, A Bedouin called Zaahir was selling his commodities in the market. The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam approached him from behind and, clasping his arms around Zaahir, challenged him to release himself from the grip. Then the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam called to those who passed by, ‘Who wants to buy this slave?’ Laughing and still in the Prophet’s grip, Zaahir responded, ‘There is no market for me. Nobody would want to buy me,’ [due to his age and deformed body] The Prophet replied, ‘But with Allah, you are priceless and invaluable.’ [Narrated by Ahmad]

Points of benefit:

a) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam suprised his companion by coming from behind him, as if to wrestle him playfully.

b) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam took the time out to publically visit someone who was considered from the lower class (Bedouins). He visited Zaahir radi Allahu anhu while he was working in the market.
c) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam in a joking manner attempted to sell Zaahir, although he was not a slave. He showed the people who were around that he and this Bedouin were friends.

d) He comforted and raised the morale of Zaahir radi Allahu anhu by saying with Allah he is ‘ghaalin‘ (expensive and invaluable) after he said no one would be interested in buying him.

The Race
A’ishah radi Allahu anha narrated, “I went out with the Prophet on a journey. At that time I was a young girl and was quite slender. The Prophet told the people, ‘Go on ahead,’ so they went ahead, then he said to me, ‘Come, let us have a race.’ So I raced with him, and I won. He let the matter rest until I had gained weight. Later, I accompanied him on another journey. He told the people, ‘Go on ahead,’ so they went ahead. He said to me, ‘Come, let us have a race.’ So I raced with him, and he won. He began to laugh, and said, ‘This is for that.” [Narrated by Ahmad]
Points of benefit:

a) The wives of the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam would accompany him on journeys.

b) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam sent his army ahead so he and his wife could have some privacy.

c) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam was romantic throughout his life. We see here that he not only raced with A’ishah during an early time in their marriage, but he remembered this game they had from the past, as if he was keeping score, and intiated it again.

d) The Prophet sal Allahu alayhi wa sallam did not tell A’ishah that she lost the race because she had gained weight, although she knew that was the reason.

e) Traveling causes fatigue, yet the Messenger of Allah alayhi salaatu wa salaam phsyically exerted himself to have some fun with his wife.
These few accounts show the loving nature and fun side of the Prophet sal Allahu alayhi wa sallam. O Allah, send your peace and blessings upon our Prophet and Messenger and grant him al Fadeelah and al Waseelah.

We’ve lost the chance to see the smile of the blessed Messenger sal Allahu alayhi wa sallam, so let’s not lose our chance in the aakhirah. May Allah ta’ala unite us with His Messenger in Firdaws al ‘Alaa, Ameen.

Mudahnya Kehidupan

Sesungguhnya kemudahan akan disertai kesusahan. Itulah janji Tuhan kepada makhluknya yang menjadikan dunia ini berpasang-pasangan.

Kadang-kadang kita merasakan kehidupan ini menyusahkan, membebankan dan acapkali menyesakkan jiwa. Mengapakah terjadinya hal yang sedemikian? Mungkinkah kerana kita tersasar dari matlamat hidup kita?

Sebagai seorang Islam, cuba kita renungkan, apakah matlamat sebenar kita dilahirkan ke dunia ini? Adakah untuk memenuhi keperluan dan kehendak semata-mata? Sebelum itu mari kita lihat sejenak apa itu keperluan dan kehendak dunia ini.

Keperluan kita sebagai seorang Islam adalah beribadah kepada Allah. Adakah beribadah itu hanya tertumpu kepada rukun Islam yang lima sahaja? Tentu sahaja tidak, rukun Iman, fardhu ain, fardhu kifayah mestilah dilengkapi bagi memenuhi keperluan kita hidup di alam maya ini.

Sekarang, kita perhatikan pula kehendak dunia.

Keperluan dunia memenuhi ruang lingkup nafsu kita. Makanan yang enak, pasangan dan anak pinak, harta dunia dan tidak lupa juga kuasa. Bagaimana kita mahu mengharungi kehidupan dunia dengan menyeimbangkan antara keperluan dan kehendak? Kerana faktor ini, selalu sahaja kehendak mengatasi keperluan. Inilah hakikat yang menyesakkan jiwa dan nafas kita.

Baiklah. Mari kita teliti cadangan di bawah ini. Bagaimanakah caranya untuk merungkai kesesakan jiwa kita ini.

Pertama sekali, tentukan matlamat hidup yang sebenar. Sebagai seorang mukmin, AKHIRAT menjadi matlamat jangkamasa panjang kita semua. Keperluan dunia wajiblah dipenuhi bagi mencapai akhirat. Jika begitu, apakah kita mesti mengenepikan dunia? Tidak, ini amat berat dilakukan kerana dunia merupakan jambatan akhirat. lalu, harus bagaimana menghadapai dunia.

Sila ikuti saranan seterusnya.

Langkah kedua merupakan titik tolak bagaimana kita menghadapi alam fana ini. Kita haruslah meleraikan ikatan kita kepada dunia. Bagaimana caranya? Letakkanlah sahabatku, dunia ini di tangan kita bukannya di hati. Contohnya, kita punya harta yang banyak. Jika harta itu di tangan, kita akan mudah memberi. Jika di hati, hati kita akan mewujudkan perasaan tamak, kedekut, dengki malah iri hati jika harta orang lain lebih banyak daripada harta kita.

Lagi perumpamaan yang mudah. Kita telah sedaya upaya menjaga anak dari kecil hingga dewasa. Didikan agama tidak kurang sedikitpun. Didikan dunia pun kita seimbangkan untuk memudahkan urusan dunianya. Bila dewasa, kita telah hilang di hatinya. Betapa perit hati seorang ibu dan seorang bapa. Mengapa hati kita perit dan sakit? Kerana kita telah mengikat hati kita dengn anak. Sesungguhnya, setelah kita berusaha bersungguh-sungguh, hendaklah kita bertawakal kepada Yang Maha Esa. Bergantunglah kamu kepada Allah swt, bukan kepada anak ya, sahabatku.

Wahai sahabat, mampukah kita meletakkan dunia ini di tangan , tetapi bukan di hati. Berhijrahlah, ini suatu percubaan yang amat berat, susah tetapi amatlah menyenangkan hatimu sekiranya kamu, wahai sahabatku dapat melakukannya. Percayalah, bahawa dalam kesusahan ada kesenangan.

Kamu akan redha dengan apa sahaja takdir yang ditentukan. Kamu akan merasakan betapa mudahnya kehidupan ini. Marilah kita renungkan kata-kata di bawah ini dengan penuh penghayatan.

Jika kamu cinta kepada bunga, bunga akan layu. Jika kamu cinta kepada manusia, manusia akan mati. Cintalah kepada Allah swt, Allah swt akan mencintai kamu selama-lamanya. Tidakkah kamu terfikir bahawa dunia ini hanyalah sementara. Di mana tak satu tempat atau apapun yang kamu boleh gantungkan harapan. Sengaja Allah swt menjadikan ini semua sebagai petunjuk, untuk menunjukkan kepada manusia, hanya Dialah tempat kita bergantung harap kerana Dialah yang kekal abadi.

Whispers from the Shaytaan

A waswasa is disturbing that maybe the rules of shirk which apply in this world do not apply in the universe. Somewhere else in the universe there might be a place where the dead can hear and help, where going to the graves is a form of worship etc. Please help me with to fight this waswasa.

Praise be to Allaah.
One of the means that the Shaytaan uses to misguide people is by casting doubts and whispers (waswaas) into their hearts. The Messenger of Allaah peace and blessings of Allaah be upon him) has warned us against some of these things. It says in the hadeeth: “The Shaytaan comes to any one of you and says, ‘Who created such and such? Who created such and such?’ until he says, ‘Who created your Lord?’ If that happens to you, seek refuge with Allaah and give up these thoughts.” Narrated by al-Bukhaari, no. 3277

The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) taught us two important things:
1 – To turn to Allaah and seek His protection, and to beseech Him, for He is the most Generous:
“And if an evil whisper comes to you from Shaytaan (Satan), then seek refuge with Allaah”
[al-A’raaf 7:200 – interpretation of the meaning]
2 – To put a stop to this matter and turn away from it, and to keep ourselves busy with other, useful things.

The companions of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) came to him complaining about the doubts and waswaas that they were suffering. In Saheeh Muslim it is narrated that Abu Hurayrah (may Allaah be pleased with him) said: “Some of the companions of the Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) came to him and said, ‘We find in our hearts things that none of us dares utter.’ He said, ‘Do you really find that?’ They said, ‘Yes.’ He said, ‘That is clear faith.’” (2/153).

What is meant by his saying ‘That is clear faith’ is that their hatred of that waswasah and their rejecting it was a clear sign of faith.
The Shaytaan only whispers to people of faith; as for the kaafir he comes to him however he wants and does not limit himself to waswaas, rather he toys with him however he wishes.

The belief concerning which there can be no doubt is that the entire universe, from its heights to its depths, is in a state of submission to Allaah and no one in the universe possesses any power. Allaah says (interpretation of the meaning):
“Say: (O Muhammad to polytheists, pagans) Call upon those whom you assert (to be associate gods) besides Allaah, they possess not even an atom’s (or a small ant’s) weight either in the heavens or on the earth, nor have they any share in either, nor there is for Him any supporter from among them.

Intercession with Him profits not except for him whom He permits”
[Saba’ 34:22-23]
This crafty enemy is keen to misguide people and to make them doubt. The more you seek the help of Allaah, learn about your enemy and be prepared to face him, the more you will be victorious over him. If you know your true enemy, the following are the weapons at your disposal.

Firstly:
Adherence to the Qur’aan and Sunnah in word and deed, and keeping away from the paths of misguidance, for on every path there is a devil calling people to it. So you should follow the beliefs, words, acts of worship and laws that have come from Allaah and abstain from that which He has forbidden. Allaah says (interpretation of the meaning):

“Enter perfectly in Islam (by obeying all the rules and regulations of the Islamic religion)”
[al-Baqarah 2:208]
Silm (translated here as Islam) refers to Islam. Muqaatil interpreted it as doing all kinds of good and righteous deeds.
Whoever gives up any part of Islam has followed in some of the footsteps of the Shaytaan.

Adhering to the Qur’aan and Sunnah in word and deed expels the Shaytaan annoys him greatly. Muslim narrated from Abu Hurayrah: “When the son of Adam recites a verse of sajdah and prostrates, the Shaytaan withdraws weeping, saying, ‘Woe to me, the son of Adam was commanded to prostrate, and he prostrated, so Paradise will be his; I was commanded to prostrate and I disobeyed, so Hell will be mine.’” Narrated by Muslim, no. 133.

Secondly:
Seeking refuge with Allaah from all kinds of evil and turning to Him. Islam teaches us to seek refuge with Allaah in certain situations, such as the following:
When entering the washroom: “Allaahumma inni a’oodhu bika min al-khubthi wa’l-khabaa’ith (O Allaah, I seek refuge with You from the male and female devils).”
When one is angry: “A’oodhu Billaahi min al-Shaytaan ir-rajeem (I seek refuge with Allaah from the accursed Shaytaan).”

When having intercourse: “Bismillaah Allaahumma jannibna al-shaytaan wa jannib al-shaytaana ma razaqtana (In the name of Allaah, O Allaah, keep the Shaytaan away from us and keep the Shaytaan away from that which You may bless us with).”
When stopping in a place: “A’oodhu bi kalimaat-Allaah il-taammah min sharri ma khalaqa (I seek refuge in the perfect words of Allaah from the evil of that which He has created).”

When hearing the braying of a donkey: “A’oodhu Billaahi min al-Shaytaan ir-rajeem (I seek refuge with Allaah from the accursed Shaytaan).”
When starting to read Qur’aan: “A’oodhu Billaah il-samee’ il-‘aleem min al-Shaytaan ir-rajeem (I seek refuge with Allaah, the All-Hearing, All-Knowing, from the accursed Shaytaan).”

After starting to pray: “A’oodhu Billaah il-samee’ il-‘aleem min al-Shaytaan ir-rajeem wa min hamzihi wa nafakhihi wa nafthihi (I seek refuge with Allaah, the All-Hearing, All-Knowing, from the accursed Shaytaan, from his madness, his arrogance and his poetry).”

The best words with which we may seek refuge with Allaah are al-Mi’wadhatayn i.e., Soorat al-Falaq and Soorat al-Naas. It was narrated from ‘Uqbah ibn ‘Aamir (may Allaah be pleased with him) that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Do you not see the verses that were revealed to me tonight, the like of which have never been seen? Qul ‘aoodhu bi Rabb il-falaq and Qul ‘aoodhi bi rabb il-naas.” Narrated by Muslim, 814.

Thirdly:
Keeping busy with dhikr, for this is the greatest thing that may protect a person. In the hadeeth it says that Allaah commanded Yahya (peace be upon him) to enjoin five things upon the Children of Israel, one of which was: “I command you to remember Allaah, for this is like a man who is being pursued by the enemy, then he comes to a strong fortress and saves himself from them. Similarly a man cannot save himself from his enemy except by means of dhikr.” Narrated by al-Haafiz Abu Moosa al-Madani in al-Targheeb fi’l-Khisaal al-Hameedah wa’l-Tarheeb min al-Khilaal al-Murdiyyah. Ibn al-Qayyim said: Shaykh al-Islam used to regard this hadeeth highly, and I heard that he used to say: “The evidence for its being sound is quote clear.” al-Waabil al-Sayyib, 60.

Fourthly:
Adhering to the main body of the Muslims (the jamaa’ah) by living in a Muslim land and choosing righteous friends who will help him to do good. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever among you wants to attain the best part of Paradise, let him adhere to the main body of the Muslims, for the Shaytaan is with the one who is alone but he is farther away from two.” Narrated by al-Tirmidhi, 2254. Al-Qaari’ said: its isnaad is saheeh. Al-Mubaarakfoori said: The entire hadeeth is either saheeh or hasan. Tuhfat al-Ahwadhi, 6/320.

Fifthly:
Opposing the Shaytaan, for he may come in the form of someone offering sincere advice, so we must go against him. For if he were really good he would be good to himself first, but he has caused himself to be doomed to Hell. So if he comes to you whilst you are praying, and says, “You are showing off (so cut your prayer short),” then make your prayer lengthy. If he says, “You have broken your wudoo’,” say, “You are lying”. If he says to you that the dead can hear you and benefit you or harm you, tell him, “You are lying.” When you eat, be different from him and eat and drink with your right hand, and take food with your right hand. This even applies to taking a siesta, as it says in the hadeeth: “Take a siesta for the devils do not take a siesta.” Narrated by Abu Na’eem with a saheeh isnaad. Saheeh al-Jaami’, 4/147.

Even with regard to a piece of food that falls to the ground, the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Pick it up and do not leave it for the Shaytaan…” Narrated by Muslim, 12, al-Adaab.

Sixthly:
Repenting and seeking Allaah’s forgiveness. According to the hadeeth the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “The Shaytaan said to the Lord of Glory: ‘By Your Glory O Lord, I will keep trying to misguide Your slaves so long as their souls are in their bodies.’ The Lord said, ‘By My Glory and Majesty, I will continue to forgive them so long as they ask My forgiveness.’” Narrated by Ahmad in al-Musnad and classed as saheeh by al-Albaani in Saheeh al-Jaami’, 2/32
So man should always be in a state of repentance and turning to Allaah. They have an example in their father Adam (peace be upon him):
“Our Lord! We have wronged ourselves. If You forgive us not, and bestow not upon us Your Mercy, we shall certainly be of the losers”
[al-A’raaf 7:23 – interpretation of the meaning]

These are some of the means that will help you to ward off this waswaas. We ask Allaah the Almighty, by His most beautiful names and sublime attributes to grant us refuge from the madness of the devils and from their traps and whispers. Praise be to Allaah the Lord of the Worlds.

Motives for Success

Question:
What are the motives that some people have for overcoming failure?.

Answer:
Praise be to Allaah.
The name of failure is enough to put us off it and strive for success, regardless of the material gains that a man may attain as the result of his success, because failure is a word that implies shortcomings and loss, and success is a word that implies perfection and praise.
Failure and success are two sides of the same coin, although they may seem to contradict one another at first glance. But in fact they are interconnected if you think about it, based on experience and real life.

Success is the path in this life which Allaah wants to be the aim of every believer. He has created the universe and subjugated it to meet this aim. He, may He be glorified, has enjoined man to believe, and has asked him to adhere to full submission to Him, as he cannot be anything but a slave to Allaah, and He has made that the purpose of creation, as He says (interpretation of the meaning):
“And I (Allaah) created not the jinn and mankind except that they should worship Me (Alone)”
[al-Dhaariyaat 51:56]

And He has promised that the one who dies following this path will be the successful one, and others will be losers:
“And whoever is removed away from the Fire and admitted to Paradise, he indeed is successful”
[Aal 'Imraan 3:185]

So success is the story of life, the purpose for which Allaah has created this universe. He only sent the Messengers and revealed the Books to call people to attain true success before Allaah. He has decreed certain matters in order to motivate us to attain success in this world and in the Hereafter, as follows:
- He decreed eternal and everlasting delight for those who pass the test of faith and full submission, and adhere to that path and die following it:
“Then as for him who will be given his Record in his right hand will say: ‘Here! read my Record!

20. ‘Surely, I did believe that I shall meet my Account!’
21. So he shall be in a life, well pleasing.
22. In a lofty Paradise,

23. The fruits in bunches whereof will be low and near at hand.
24. Eat and drink at ease for that which you have sent on before you in days past!”
[al-Haaqqah 69:19-24]
- The Qur’aan depicts the state of those who refused to follow the path of success and insisted on following the path of evil and failure, and described their situation on the Day when results will be shown, and it will be known who succeeded and who failed:
“But as for him who will be given his Record in his left hand, will say: ‘I wish that I had not been given my Record!

26. ‘And that I had never known how my Account is!
27. ‘Would that it had been my end (death)!
28. ‘My wealth has not availed me;
29. ‘My power (and arguments to defend myself) have gone from me!’”
[al-Haaqqah 69:25-29]

- Allaah, may He be glorified and exalted, decreed a good life in this world for the one who follows the path of success, He said (interpretation of the meaning):
“Whoever works righteousness — whether male or female — while he (or she) is a true believer (of Islamic Monotheism) verily, to him We will give a good life (in this world with respect, contentment and lawful provision), and We shall pay them certainly a reward in proportion to the best of what they used to do (i.e. Paradise in the Hereafter)”
[al-Nahl 16:79]

Ibn Katheer (may Allaah have mercy on him) said:
This is a promise from Allaah to the one who does righteous deeds, that Allaah will give him a good life in this world, and a good life includes all kinds of comfort and delight. It was narrated from Ibn ‘Abbaas and others that they interpreted it as meaning a goodly halaal provision, and it was narrated from ‘Ali ibn Abi Taalib (may Allaah be pleased with him) that he interpreted it as meaning contentment. ‘Ali ibn Abi Talhah said, narrating from Ibn ‘Abbaas, that it means happiness. The correct view is that a good life includes all of these things. Tafseer al-Qur’aan il-’Azeem (4/601).

This is the way according to which the Muslim should live throughout his life. The one who starts out on the basis of this understanding will inevitably be led to success and achievement in all his affairs, both religious and worldly, because the believer knows that he is required to establish truth and justice in this world, as Allaah says (interpretation of the meaning):
“Indeed We have sent Our Messengers with clear proofs, and revealed with them the Scripture and the Balance (justice) that mankind may keep up justice”
[al-Hadeed 57:25]
An individual’s success is part of the success of the ummah in achieving justice and fairness.

And the believer also hears the words of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) who said: “Allaah loves, when one of you does a thing, that he should do it well.” Narrated by Abu Ya’la (7/349) and classed as hasan by al-Albaani on the basis of corroborating evidence in al-Silsilah al-Saheehah (1113). Doing things well is one of the pillars of success.

These motives are all things that prepare the believer to attain the highest degrees of success. He always strives to develop his talents and learn useful skills, and to develop himself on the educational, moral, social and economic levels. He knows that the successful, striving believer is better than the one who is idle and lazy, who earns nothing from his laziness but loss in both worldly and religious terms.
It was narrated from Abu Hurayrah (may Allaah be pleased with him) that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “The strong believer is better and more beloved to Allaah than the weak believer, although both are good. Strive to do that which will benefit you and seek the help of Allaah, and do not feel helpless.

If anything befalls you, do not say ‘If only I had done (such and such), the such and such would have happened,’ rather say: ‘Allaah has decreed and what He wills He does,’ for ‘if only’ opens the door to the work of the shaytaan.” Narrated by Muslim (2664).

Ibn al-Qayyim (may Allaah have mercy on him) said: This hadeeth includes several important principles of faith, including the following:
That a person’s happiness lies in his seeking that which will benefit him in this life and in the Hereafter, and this striving means expending effort and doing one’s utmost. Because a man’s striving and action can only be with the help of Allaah and by His will and support, He commanded him to seek His help, so that he will be acting in accordance with the meaning of the verse (interpretation of the meaning): “You (Alone) we worship, and You (Alone) we ask for help (for each and everything)” [al-Faatihah 1:5]. His striving for that which will benefit him is an act of worship to Allaah, which cannot be done except with His help, so He commanded him to worship Him and seek His help.

Then he said: “and do not feel helpless”, because feeling helpless is contrary to striving for that which will benefit him, and it is contrary to seeking the help of Allaah. The one who strives for that which will benefit him and seeks the help of Allaah is the opposite of the one who feels helpless, so this is telling him, before what has been decreed happens, of that which is one of the greatest means of attaining it, which is striving for it whilst seeking the help of the One in Whose hand is control of all things, from Whom they come and to Whom they will return.

If he does not attain what was not decreed for him, then he may feel either of two things: helplessness, which opens the door to the work of the shaytaan, so his sense of helplessness leads him to say “if only”, but there is nothing good in saying “if only” in this case, rather that opens the door to blame, panic, discontentment, regret and grief, all of which are the work of the shaytaan, so the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) forbade us to open the door to his works in this manner, and told us to adopt the second option, which is looking at the divine decree and bearing it in mind, for if it was decreed for him it would never have missed him and no one could have prevented him from attaining it. Hence he said: “If anything befalls you, do not say ‘If only I had done (such and such), the such and such would have happened,’ rather say: ‘Allaah has decreed and what He wills He does,’” and he taught him that which will benefit him in either case, whether he gets what he wanted or not. Hence this hadeeth is one which a person can never do without.

Shifa’ al-’Aleel (37-38).
With this thinking one can overcome every obstacle and every failure, and there is nothing that he cannot achieve; there will be no limit to his hopes and no end to his ambition and resolve.

Rather he will realize that failure is a sign of someone who is striving, because the one who strives is the one who may fail, but the one who does nothing and is lazy will neither fail nor succeed. Effort must inevitably lead to success one day, even if it is a long way off. So he should take failure as a step towards success, learning from it the causes of shortcomings, and trying to overcome them and set them straight, so that he becomes stronger than he was before, until he attains the success for which he is striving.

The door of repentance which Allaah, may He be exalted, has opened to those who make mistakes and fail is another incentive to overcome failures and attain success, especially if the one who falls short learns from his experience. One of the salaf said: A sin that generates humility and regret is better than an act of obedience that generates self-admiration and arrogance.

Finally, with all these motives for attaining success and overcoming failure, there remains no excuse for being inactive or lazy. The way is easy and all it requires of you is some determination, will power and wisdom.

The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “All of my ummah will enter Paradise except those who refuse.” Narrated by al-Bukhaari (7280).
See also the answer to question no. 22704.
And Allaah knows best.

Ayat-Ayat Tentang Tafsiran Kalimat “Laa Ilaha Illallah”

Sekilas Tentang Makna Laa ilaaha ilallah
Makna Laa ilaaha ilallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] yang benar adalah tidak ada sesembahan yang benar dan berhak disembah kecuali Allah semata. Pada kalimat Laa ilaaha ilallah terdapat empat kata yaitu:

1.Kata Laa ( لآُ ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan yang benar kecuali Allah.
2.Kata ilah ( إِلَهَ ) berarti sesuatu yang disembah
3.Kata illa ( َ إِلاَّ ) berarti pengecualian
4.Kata Allah (الله ) berarti ilah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar .[1]
Dalil tentang masalah ini adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ {62}

“Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:62)

Demikianlah makna Laa ilaaha ilallah yang benar. Pada bahasan selanjutnya akan kami nukilkan sebagian ayat-ayat yang menjelaskan tentang tafsiran makna Laa ilaaha ilallah beserta penjelasan para ulama.

Ayat Pertama

Firman Allah Ta’ala,
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا {57}

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’:57)

Dalam ayat di atas, Allah mengkhabarkan bahwa sesembahan selain Allah yang diseru oleh kaum musyrikin baik berupa para malaikat, nabi, dan orang-orang sholih, mereka sendiri bersegera mencari kedekatan kepada Allah dan mengharap rahmat Allah serta takut terhadap adzab-Nya. Jika demikian kondisi sesembahan mereka yang juga merupakan makhluk, maka bagaimana bisa mereka dijadikan sesembahan selain Allah? Bahkan mereka juga mengkhawatirkan diri mereka sendiri dengan menyembah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa makna tauhid syahadat Laa ilaaha ilallah yaitu dengan meninggalkan perbuatan kaum musyrikin berupa menyembah orang-orang sholih dan meminta syafaat kepada mereka untuk menghilangkan kemudharatan karena hal itu termasuk syirik akbar. [2]

Ringkasnya, di antara makna Laa ilaaha ilallah adalah dengan meninggalkan perbuatan menyembah orang-orang shalih seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin.

Ayat Kedua
Firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ {26} إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ {27}

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu sembah (26). tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku“.”(QS. Az Zukhruf:26-27)

Dalam ayat di atas terdapat perpaduan antara penafian dan penetapan. Penafiannya adalah firman Allah [ بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ ] (berlepas diri dari yang kalian sembah), sedangkan penetapannya adalah [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] (tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku). Hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan mengingkari sesembahan selain Allah dan beriman kepada Allah semata. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

ِ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {256}

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah:256)
Ibrahim ‘alaihis sallam mengatakan [ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي ] dan tidak mengatakan[ إِلاَّ اللهُ ].
Ada dua faedah dalam perkataan ini :

1.Menunjukkan tentang alasan pengesaan Allah dalam ibadah. Sebagaimanan Allah diesakan dalam penciptaan, maka Dia juga harus diesakan dalam ibadah.

2.Menunjukkan tentang kebatilan penyembahan terhadap para berhala. Berhala-berhala tersebut tidak dapat menciptakan kalian, mengapa kalian masih menyembahnya? Di sini juga terkandung alasan tentang tauhid yang memadukan antara penafian dan penetapan.

Kesimpulan dari ayat di atas bahwa tauhid tidak akan terwujud jika ada penyembahan kepada Allah yang disertai penyembahan kepada selain-Nya. Perwujudan tauhid hanya dengan pemurnian ibadah bagi Allah semata. Manusia dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga golongan :

1.Golongan yang menyembah Allah semata.
2.Golongan yang menyembah selain Allah semata.
3.Golongan yang menyembah Allah serta menyembah selain-Nya
Hanya golongan pertamalah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid).[3]

Ayat Ketiga
Firman Allah Ta’ala,
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ {31}

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:31)
Allah Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi dan Nasrani bahwasanya mereka meminta nasehat kepada ulama dan rahib mereka dan mereka mentaatainya dalam penghalalan sesuatu yang Allah haramkan dan pengharaman sesuatu yang Allah halalkan. Mereka mendudukkan ulama mereka sebagai Rabb yang memiliki kekhususan untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini sebagaimana dilaukan kaum Nasrani yang menyembah Isa dan menganggapnya sebagai anak Allah. Mereka mencampakkan kitabullah yang memerintahkan mereka untuk mentaati dan mengibadahi Allah semata. Kesimpulan dari ayat ini menunjukkan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah yakni dengan mengesakan Allah dalam mentaati apa yang Allah haramkan dan apa yang Allah halalkan. Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Allah dalam mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya maka dia termasuk orang musyrik.[4]

Ayat Keempat
Firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ {165}

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”(QS. Al Baqarah:165)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menceritakan kepada kita tentang sebgain manusia yang menyembah berhala. Mereka mencintai berhala itu sebagiamana mereka mencintai Allah. Kemudian Allah menerangkan bahwa kaum mukminin lebih mencintai Allah daripada kaum musyrikin. Hal ini karena kaum mukminin mencintai Allah secara murni, sementara kaum musyrikin cinta mereka terbagi kepada Allah dan kepada berhala. Barangsiapa yang mencintai Allah secara murni, tentu saja cintanya kepada Allah lebih kuat daripada orang-orang yang menyekutukan cintanya kepada Allah.

Lalu Allah mengancam kaum musyrikin dan menjelaskan kepada mereka bahwa pada hari kiamat nanti tatkala mereka melihat azab Allah siap menerkam, mereka akan berangan-angan sekiranya dahulu mereka tidak menyekutukan cinta dan ibadah mereka kepada Allah. Mereka kelak di akhirat akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata. Dan Allah Maha Keras siksanya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah adalah mengesakan Allah dalam kecintaan yang mengharuskan seseorang mengikhlaskan seluruh ibadahnya kepada Allah semata. [6].

Demikianlah di antara ayat-ayat tentang tafsir Laa ilaaha ilallah beserta penejelasan para ulama. Semoga semakin memperkokoh pondasi tauhid kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Wallahul musta’an.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id

MANUSIA TAK MENGENANG BUDI

Pernahkah kita terfikir apakah tujuan sebenar kita diciptakan ke dunia ini. Sedangkan dari sebesar-besar gunung hingga ke sekecil-kecil semut pun ada tujuannya tersendiri, inikan kita yang sempurna dan indah ciptaan-Nya. Maha Suci Allah yang tidak lengah(lalai) pada ciptaan-Nya.

Tidak pernah terdetikkah untuk apa kita dijadikan? Adakah manusia sekadar penghias dunia semata-mata. Atau lebih kepada PEROSAK DUNIA?
Maka apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?.
(Al-Mu'minun:115).
Jelas bahawa setiap satu ciptaan itu ada tujuannya. Seorang tuan rumah pun akan memarahi pembantu rumahnya, (bibik) jika dia tidak tahu tujuan dia diambil bekerja. Apatah lagi kita manusia ciptaan Allah yang menikmati pelbagai nikmat kurniaanNya.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku.
(az-Zariyat: 51)

Allah s.w.t telah berfirman dengan jelas tentang tujuan ini di dalam ayat Al-Quran. Sedarkah kita dengan tugas kita ini???
Dan ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku ingin menjadikan khalifah di bumi". Mereka berkata " Apakah kau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, " Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah:30)

Maha suci Allah menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Betapa berat dan besar amanah, tugas yang perlu kita pikul. Khalifah berperanan mengurus dan mentadbir bumi mengikut hukum Allah yang telah ditetapkan . Adakah kerja keras kita selama ini hanyalah berusaha untuk mencari kejayaan demi kesenangan sendiri menepati kehendak TUAN KITA INI?.
Adakah Pengarah sebuah syarikat pembinaan akan merasa gembira dengan kerja-kerja pekerjanya yang membina HOTEL walaupun ditugaskan membina deretan rumah kedai?.
Katakanlah (Muhammad), "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik."
(Yusuf:12)

Kita juga berperanan untuk menyambung jejak langkah Rasulullah S.A.W menyeru manusia mencari keredhaan Allah S.W.T. Malulah kita kepada sang semut yang kerdil andai mereka lebih cekap dan effisyen dalam menjalankan tanggungjawabnya. Setelah beraneka rahmat dikurniakan kepada kita dari sihat tubuh badan hingga kepada kebijaksaan dalam pembelajaran, adakah kita masih mahu lari dari tanggungjawab kita ini?.

Andai satu hari nanti segala jenis pinjaman yang kita miliki seperti kekayaan, kesihatan dan kebijaksaan ditarik adakah kita tidak malu merayu meminta agar ianya dikembalikan?. Sedangkan sebelum ini kita tidak pernah peduli tentang TUJUAN ia dipinjamkan kepada kita.

Malangnya kita jika mengabaikan tanggungjawab kita ini. Pastikah kita dimana tempat kita diakhirat kelak? Dunia hanyalah satu OASIS yang perlu kita tinggalkan setelah menjalankan tanggungjawab dan tugas yang diberi. Berilah apa saja alasan kerana sesungguhnya hanya DIA yang mengetahui bila saat kita akan kembali padaNYA.

Blog Penulis: http://kalamhijau.blogspot.com/2009/11/manusia-tak-mengenang- budi.html

Abu Bakar as-Siddiq seorang peniaga kain

ABU Bakar as-Siddiq dilahirkan pada tahun 573 Masihi. Nama sebenar beliau ialah Abdullah bin Abi Quhafah. Berasal dari keturunan Bani Tamim, Abu Bakar terkenal sebagai seorang usahawan yang berjaya. Semasa hidupnya, beliau pernah menjadi penjual kain.

Sebelum memeluk agama Islam beliau terkenal dengan gelaran Abdul Kaabah. Selepas Abu Bakar memeluk Islam, gelaran as-Siddiq diberikan oleh Nabi Muhammad kepadanya kerana keikhlasan dan kejujurannya mengembangkan agama Islam.
Beliau juga taat dan setia kepada Nabi Muhammad.
Selepas Nabi Muhammad meninggal dunia, Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pada tahun 11 Hijarah dan meninggal dunia pada 13 Hijrah.
Walaupun bergelar khalifah, Abu Bakar masih terus berniaga bagi menyara kehidupan keluarganya.

Malah pada hari selepas dilantik sebagai khalifah, beliau tetap berniaga kain di pasar.
Semasa dalam perjalanan ke pasar beliau terjumpa sahabatnya, Umar.
Selepas Umar melihat kelibat Abu Bakar, beliau hairan dan bertanya sendirian: "Bukankah Abu Bakar sudah dilantik menjadi khalifah. Mengapakah beliau masih lagi berniaga di pasar?"

Tanpa berlengah, Umar terus bertanya kepada Abu Bakar. "Adakah kamu hendak ke pasar?"
"Ya. Saya perlu berniaga pada hari ini bagi mencari rezeki," jawab Abu Bakar sambil memegang kain-kain yang mahu dijualnya itu.

Umar menjadi semakin hairan dan bertanya: "Sekiranya kamu masih sibuk dengan perniagaan kain, siapakah yang melaksanakan tugas sebagai seorang khalifah?"
Lalu Abu Bakar menjawab: "Saya perlu mencari rezeki bagi menampung keperluan keluarga saya. Sekiranya saya tidak berniaga seperti ini, saya tidak dapat menyara kehidupan keluarga saya. Siapa yang perlu membantu saya mencari rezeki ini?"
Selepas mendengar penjelasan Abu Bakar, Umar terus mengemukakan ideanya. Umar mencadangkan supaya mereka berjumpa ketua pegawai Baitulmal, iaitu Abu Ubaidah al-Jarrah.

"Mari kita berjumpa Abu Ubaidah. Beliau ialah ketua pegawai Baitulmal. Kamu perlu mendapatkan bantuan wang sara diri daripada Baitulmal," kata Umar kepada Abu Bakar.
Mereka berdua pergi berjumpa ketua pegawai Baitulmal. Sampai sahaja di sana, Abu Ubaidah berkata: "Wang sara diri yang saya berikan kepada Abu Bakar serupa dengan wang sara diri yang diterima oleh orang yang layak menerima bantuan, tidak lebih atau kurang."

Bermula dari hari itu, Abu Bakar menerima bantuan wang sara diri daripada Baitulmal. Abu Bakar juga menumpukan sepenuh masanya menguruskan negaranya. Beliau tidak lagi menjalankan perniagaannya.
wang sara diri

Pada suatu hari, isteri Abu Bakar mahu makan makanan yang enak. Pada waktu itu Abu Bakar tidak mempunyai wang bagi membeli makanan itu kerana kehidupan mereka sekeluarga hanya bergantung kepada wang Baitulmal.
Isterinya mendapat satu idea: "Saya cuba bahagikan wang sara diri yang kita dapat ini sedikit demi sedikit. Sikit-sikit lama-lama jadi bukit. Apabila wang itu sudah cukup, dapatlah saya beli makanan yang saya idam-idamkan itu".

Kemudian Abu Bakar menjawab, "Saya bersetuju dengan pendapat kamu itu".
Lama kelamaan wang yang disimpan oleh isterinya semakin banyak. Wang itu sudah cukup bagi membeli makanan yang dimahukan oleh isterinya.
Pada hari isterinya mahu pergi membeli makanan itu, Abu Bakar merasakan bahawa wang sara diri yang diterimanya sudah berlebih-lebihan. Wang itu sudah melebihi daripada keperluan hidup keluarganya.

"Isteriku, saya rasa elok kita kembalikan semula wang yang terlebih itu kepada pihak Baitulmal," kata Abu Bakar kepada isterinya.
Isterinya tidak membantah suruhan suaminya itu. Malah Abu Bakar turut meminta pihak Baitulmal mengurangkan bayaran wang sara diri yang diperolehinya itu.
Begitulah kehidupan seharian Abu Bakar. Hasil usahanya menjadi peniaga mendatangkan pendapatan yang cukup bagi menampung keperluan hidup keluarganya.

Menurut anaknya Aisyah, selepas meninggal dunia, Abu Bakar ada meninggalkan seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang orang gaji. Malah Abu Bakar juga berpesan menyerahkan kebun kurma yang dimilikinya kepada Baitulmal.
Abu Bakar berbuat demikian kerana beliau mahu menggantikan semula wang sara diri yang diterimanya daripada Baitulmal selama beliau menjadi khalifah.

Iman dan Jatidiri Manusia

Iman secara bahasa adalah kebalikan dari Kufur; iaitu pengakuan yang terpatri dalam hati sementara kufur adalah ketiadaan pengakuan.
Adapun iman secara syara’ adalah Membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan .

Dari definisi dapat kita fahami bahawa iman adalah tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan dalam berbagai perbuatan. kerana itu Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan yang sama dalam satu keyakinan, maka orang-orang beriman adalah mereka yang didalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama. Sebagaimana orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. Atau juga orang yang pandangan hidup yang jelas dan sikap hidup yang teguh tanpa terumbang-ambing oleh silaunya kehidupan dunia.

Pembagian Iman

Iman itu ada dua macam
1. Iman yang Hak; iaitu iman yang ditujukan kepada Allah, Rasul, kitab-kitab, malaikat, yaumil Akhir dan taqdir, sentiasa mengarahkan hidupnya kerana Allah dan sesuai dengan kayakinannya.

2. Iman yang Batil; iaitu iman yang ditujukan kepada selain Allah, tidak sesuai dengan syariat Allah, beriman kepada dukun, sihir, ahli nujum (peramal) dan sebagainya, sebagaimana mereka juga yang sentiasa berpegang teguh pada keyakinan yang salah dan tidak mahu menerima kebenaran yang diterima.
Iman adalah cara Allah memelihara jati diri manusia.

Jika difahami dengan seksama ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabi saw, maka akan kita temui peri pentingnya iman pada diri setiap insan dalam menjalani hidupnya di muka bumi ini. Dengan iman maka hidup seseorang akan memiliki nilai, makna dan jati diri yang mulia di sisi Allah, dan sebaliknya tanpa iman hidup manusia akan hampa, tidak memiliki nilai dan jati diri di sisi Allah dan bahkan tiada beza dengan makhluk lain seperti binatang, bahkan lebih rendah dari binatang.

Mari kita lihat beberapa ayat Allah tentang hakikat iman yang dapat memberikan setiap insan menggapai kemuliaan dan jati diri yang terbaik di sisi Allah.
1. Manusia selalu dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman yang tidak akan mengalaminya. Allah berfirman:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (Al-Asr:1-3)

2. Manusia adalah makhluk sempurna, namun kesempurnaannya akan dapat jatuh dan hina jika tidak dipertahankan dengan keimanan. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ . ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (At-Tiin:4-6)
3. Manusia yang beriman sentiasa mendapat kehidupan yang baik dan sejahtera serta ganjaran berlimpah disisi Allah. Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki mahupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl:97)

4. Manusia yang beriman, umurnya sentiasa dilimpahi keberkahan dan mendapat rahmat sepanjang hidupnya. Nabi saw bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُه

“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik perbuatannya”. (TIrmidzi)
Dan Allah SWT juga berfirman:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahawa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan”. (Ali Imran:178)
Sementara itu, manusia tanpa akan mengalami kerugian besar, baik di dunia mahupun diakhirat, bahkan Allah SWT mentamsilkan orang-orang kafir dengan berbagai tamsil yang sangat buruk.

1. Manusia tanpa iman, ibarat binatang hina bahkan lebih hina dari itu. Allah berfirman:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا. أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, Atau Apakah kamu mengira bahawa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (Al-Furqan:43-44)

2. Manusia tanpa iman, segala perbuatannya bak fatamorgana yang akan hampa dan tanpa nilai yang berharga disisi Allah. Allah berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَى رَبَّنَا لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
وَعَتَوْا عُتُوًّا كَبِيرًا . يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلَائِكَةَ لَا بُشْرَى يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا . وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas(dalam melakukan) kezaliman”. Pada hari mereka melihat malaikat dihari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata: “Hijraan mahjuuraa. Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (Al-Furqan:21-23)

Dan Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (An-Nuur:39)

3. Manusia tanpa iman, kehidupannya bak laba-laba yang membuat sarang (jaring) sebagai tempat tinggal yang mudah dihancurkan. Allah berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui”. (Al-Ankabut:41)

4. Manusia tanpa iman, kehidupannya bak anjing yang senatiasa menjulurkan lidahnya.

Allah berfirman:

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. (Al-A’raf:176)