BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Sunday, 8 August 2010

Rahsia Iman

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. selalu menegaskan tentang iman. Bahkan panggilan identiti hamba-hamba-Nya disebut dengan: almu’minuun, atau alladziina aamanuu. Iman secara bahasa ertinya percaya. Dari percaya muncul sikap atau perbuatan. Seorang pesakit yang percaya kepada doktornya, ia akan patuh ikut apa kata doktor. Ketika doktor menetapkan: ”Anda kena penyakit kanser, dia akan terus percaya. Lalu ketika doktor memutuskan: Anda harus dibedah,” Ia terus bersedia dengan jumlah biaya yang perlu dibayar. Ubat-ubatan dari doktor diminum sesuai dengan arahan yang ditentukan, ada yang tiga kali atau dua kali sehari dan sebagainya. Semua itu dipatuhi dengan sungguh-sungguh. Bahkan pantang makanan yang dilarang oleh doktor pun dijauhi, seenak apapun makanan tersebut, ia berusaha menghindar sekuat mungkin.
Pernah seorang pesakit kencing manis, ditawar makanan kuih yang sangat enak dan lazat. Seketika ia berkata, kata doktor, saya tidak boleh makan kuih ini. Perhatikan sungguh tidak sedikit manusia yang sangat patuh kepada doktor, tetapi kepada Allah tidak demikian. Padahal Allah jauh lebih luas pengetahuan-Nya dari pada seorang doktor.

”Percaya” adalah kekuatan untuk patuh, seperti patuhnya seorang pesakit yang sangat percaya kepada sang doktor. Percaya dalam Islam disebut iman. Iman harus berkaitan dengan yang ghaib. Sebab ia merupakan keperluan rohani. Kerananya di pembukaan surah Al-Baqarah:3, Allah berfirman: ”Alladziina yu’minuuna bilghaibi (iaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib).” Berdasarkan ayat ini maka iman itu harus berkaitan kepada yang ghaib. Seperti beriman kepada Allah, para malaikat dan wahyu yang turun kepada para rasul, itu semua adalah ghaib. Dan ternyata ini adalah keperluan fitrah manusia. Inilah makna fitrah yang Allah firmankan:
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (30:30)

Jadi pada dasar penciptaannya manusia telah dibekali iman. Dalam surah Al-A’raf: 72, Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

Inilah persaksian setiap janin, ketika masih dalam rahim ibunya, ia telah dengan jujur mengakui keimanannya kepada Allah. Inilah makna hadits Nabi saw. Yang sangat terkenal: “Kullu mawluudin yuuladu ‘alal fithrah (setiap bayi yang baru lahir, ia lahir dalam keadaan fitrah (maksdunya berimana kepada Allah swt).”
Sayangnya kemudian bahawa materialisme telah menyeret manusia untuk hanya menekuni keperluan fiziknya. Akibatnya mereka selalu sibuk dengan hal-hal yang berupa benda. Bahkan yang lebih parah mereka berusaha untuk membendakan yang ghaib. Itulah asal-muasal munculnya matahari, patung, pohon besar dan lainya dianggap sebagai tuhan. Mereka merasa kurang puas kalau tuhan yang mereka sembah tidak nampak. Padahal tabiat iman harus selalau berkaitan dengan yang ghaib. Maka selama kecendrungan materialistik tetap menguasai dan diutamakan di atas segalanya, automatik keimanan akan dikesampingkan. Dan mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman. Dari sinilah kekeringan rohani terjadi.

Semua orang sebenarnya ingin bahagia. Tetapi banyak dari mereka yang tidak menemui kebahagiaan itu. Ada yang mengejar kebahgiaan di balik hiburan dan kemegahan. Bahkan banyak juga yang sampai tercebur dalam dosa-dosa. Namun ternyata kebahagiaan tidak juga didapatkan. Banyak orang mengalami stres dan tekanan justru di saat telah mencapai puncak kejayaan duniawi. Di sini jawapannya adalah iman bahawa hanya iman yang akan mengisi kekeringan rohani mereka. Caranya patuhi Allah dengan sesungguh-sungguhnya. Bukan sekedar basa-basi atau puara-pura atau setengah hati. Bila mereka patuh kepada doktor atau bos dengan sungguh-sungguh, maka patuhlah kepada Allah di atas semua itu.

Yang banyak terjadi adalah bahawa Allah sering dikesampingkan. Solat diabaikan kerana kerja dan lain sebagainya. Seharusnya seorang muslim waktunya diatur oleh solat, bukan dia yang mengatur solat. Demikinlah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mencontohkan hal ini.

Maka selama kepatuhan kepada Allah dianggap sampingan, iman tidak akan pernah kuat. Dan akibatnya kebahagiaan hakiki tidak dapat dicapai. Sebaliknya ketika keimanan benar-benar menggelora, lalu dibuktikan dengan kepatuhan yang jujur dan total kepada Allah, maka kebahagiaan akan tercapai. Wallahu a’lam bishshowab.
Edmonton Kanada, 12 April 2010.

0 comments: