BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Sunday, 18 October 2009

Bagaimana Menjadi Mukhlis

Ikhlas dalam berdakwah
Bagi aktivis da’wah, kelurusan niat dalam berda’wah menjadi suatu kemestian. Ada kalanya seseorang berda’wah dan berjihad, tetapi dengan motivasi yang rendah seperti agar dilihat keberaniannya oleh orang lain, agar dianggap eksis serta motivasi memamerkan amal dakwah dan jihadnya. Rasulullah SAW ditanya mengenai masalah ini dan beliau menjawab.

مَنْ قاتَلَ لِتَكُون كلِمةُ اللَّهِ هِي الْعُلْيَا فهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ ( مُتَّفَقٌ عليه)
Hadits di atas menunjukkan definisi yang sejati tentang jihad di jalan Allah SWT, yaitu segala daya upaya untuk meninggikan kalimat Allah. Karena itu, segala aktivitas yang dilabeli jihad namun tidak memiliki orientasi murni untuk menegakkan kalimat Allah SWT, tidaklah dinamakan jihad fi sabilillah.
Bagi aktivis da’wah khususnya, ada sejumlah rambu-rambu yang selayaknya diperhatikan agar niat lurus dalam da’wahnya selalu terjaga.

Menjauhi kemasyhuran
Berbagai akhlaq salafush shalih mengajarkan bahwa mereka sangat takut dengan puji-pujian, kemasyhuran dan popularitas. Bagi mereka, cukuplah Allah SWT sebagai Dzat yang memuji. Mereka berpandangan, pujian dari manusia dapat melengahkan dan melenakan diri sehingga amal perbuatan tidak lagi ikhlash karena Allah.
Ibn Muhairiz berkata kepada orang yang meminta nasihat kepadanya,
“Jika bisa, hendaklah engkau mengenal tetapi tidak dikenal, berjalanlah sendiri dan jangan mau diikuti, bertanyalah dan jangan ditanya. Lakukanlah hal ini.”
Bisyr al-Hafi berkata,
“Saya tidak mengenal orang yang suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina. Tidak akan merasakan manisnya kehidupan akhirat, orang yang suka terkenal di tengah manusia”.

Fudhail bin Iyadh berkata,
”Jika engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tidak dikenal? Apa sukarnya engkau tidak disanjung-sanjung? Tidak mengapa engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”
Imam Ahmad berkata:

“Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran".
Bagi aktivis da’wah, popularitas dan pujian dari manusia dapat merubah orientasi da’wah seseorang. Dari da’wah karena Allah, menjadi da’wah untuk mencari popularitas. Dari da’wah untuk mendapatkan pujian Allah, menjadi da’wah untuk mendapatkan pujian manusia.

Sebenarnya, popularitas dan kemasyhuran itu tidaklah jelek. Para Nabi, Khulafa ar-Rasyidin dan para Imam adalah orang yang dikenal manusia. Ungkapan salafush shalih tersebut bukanlah ajakan untuk ber’uzlah. Tetapi yang tercela adalah mencari kemasyhuran dan kedudukan, serta sangat bercita-cita untuk mendapatkannya.
Beramal secara diam-diam
Amal yang dilakukan diam-diam berpeluang lebih selamat dari riya’ dibandingkan dengan amal secara terbuka. Allah SWT berfirman

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).

Para ulama menjelaskan tentang keutamaan menyembunyikan amal kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Secara khusus ada keuntungan bagi orang-orang yang “hidden”. Dalam hadits Mu’adz, Rasulullah SAW bersabda

إن الله يحب الأبرار الأتقياء الأخفياء، الذين إن غابوا لم يفتقدوا، وإن حضروا لم يعرفوا، قلوبهم مصابيح الهدى، يخرجون من كل غبراء مظلمة
“Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertaqwa dan yang menyembunyikan amalnya. Yaitu orang-orang yang jika tidak hadir mereka tidak dicari, dan jika hadir mereka tidak dikenal. Hati mereka adalah pelita petunjuk. Mereka keluar dari setiap tempat yang gelap.”
Selalu sabar dalam berda’wah
Allah SWT memberikan ilustrasi berupa kisah Nabi Nuh AS yang begitu sabar berda’wah selama 950 tahun (Al Ankabut 14). Nabi Nuh selalu berda’wah siang dan malam tanpa kenal lelah (Nuh 5). Beliau juga menggunakan berbagai metode, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (Nuh 8-9). Bahkan keluarganyapun juga tidak menyambut ajaran beliau. Kesabaran beliau ditunjukkan ketika mendapatkan wahyu Allah SWT untuk membuat kapal (Al Mu’minuun 27-28) dimana orang-orang kafir mengejek Nabi Nuh dan para pengikut beliau (Hud 11).

Kesabaran dalam berda’wah berbanding lurus dengan keikhlasan. Orang-orang yang ikhlash selalu bersabar dalam menghadapi ujian dalam da’wah. Namun, terkadang ada orang-orang yang ingin segera cepat-cepat menikmati hasil da’wahnya. Perilaku yang disebut isti’jal, dilakukan oleh orang-orang yang mengubah tujuan da’wahnya, dari da’wah murni kepada Allah SWT menjadi da’wah yang berorientasi kepada hasil. Ketika sahabat Khubaib bin al-Arat menanyakan kapan datangnya pertolongan Allah, Rasulullah SAW menjawabnya dengan ilustrasi kisah orang pada zaman terdahulu yang tetap bersabar walaupun harus menerima ujian disisir dari sisir besi. Di akhir, Rasulullah mengatakan (ولكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ) “Akan tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR Bukhari)
Berbuat yang ikhlash dan wajar ketika memimpin

Orang yang ikhlash karena Allah akan berbuat yang wajar, baik ketika memimpin di depan sebagai qiyadah maupun ketika berada di belakang sebagai jundiyah. Tidak ada perubahan dalam orientasi amalnya maupun sikap dan perbuatannya, baik ketika dikenal orang banyak, maupun ketika tidak dikenal. Dalam hal ini, sikap Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dapat menjadi teladan, ketika beliau tetap ikhlash berjuang meskipun diberhentikan dari panglima perang oleh khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Syaikh Yusuf Qaradhawy memberikan taushiyah mengenai (الفرح بكل كفاية تبرز ) dalam hubungannya dengan persoalan jama’ah. Beliau menyatakan, qiyadah yang ikhlash akan senang jika banyak orang-orang baik yang bergabung dengan jama’ah. Dia tidak akan terganggu atau dengki atau gelisah karena kehadirannya. Bahkan qiyadah yang ikhlash melihat, jika ada orang lain yang lebih baik dari dirinya dalam hal memikul tanggung jawab, ia dengan senang hati untuk mundur dan memberikan tanggung jawab kepada orang lain.

Beliau mengkritik orang-orang yang diberikan amanah namun selalu berusaha mempertahankan jabatannya, tidak mau mundur dan suka menekan orang lain. Padahal seiring dengan perjalanan waktu, keadaan akan berubah dan orang yang kuat akan menjadi lemah. Ada ungkapan (لكل زمان رجاله) , setiap zaman ada rijalnya. Beliau mengkritik pemimpin yang yang mati-matian mempertahankan kedudukannya dengan anggapan dialah yang paling mampu mengendalikan perahunya.
Syaikh Yusuf Qaradhawy juga menyatakan, aktivis dakwah tidak boleh menutup mata dan telinga ketika mendapatkan kritik dari orang lain. Beliau bahkan memperingatkan bahaya sebuah jamaah yang disusupi dari luar, kepincangan dalam berfikir dan beramal, tidak ada inovasi dan pembaharuan, sebagai akibat kerakusan satu atau dua orang yang terlibat di dalamnya.
Menghindari ujub.

Ujub (i'jab bin nafsi) adalah penyakit membanggakan diri sendiri, dengan tidak merendahkan orang lain. Walaupun tidak merendahkan orang lain, penyakit ini cukup berbahaya, karena berpotensi menuju ghurur. Ghurur adalah penyakit membanggakan diri sendiri disertai dengan merendahkan orang lain. Karena itu ghurur dikatakan sebagai syiddatul i'jab. Di atas ghurur adalah penyakit takabbur alias sombong. Takabbur dikatakan syiddatu syiddatil i'jab. Jadi pada akhirnya, ujub berbahaya karena menuju kepada takabbur. Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya Aafatun ‘ala ath-thariq menjelaskan tentang bahaya penyakit ujub, ghurur dan takabbur.
Perang Hunain memberikan pelajaran besar akan bahaya penyakit ujub, ketika kaum muslimin merasa yakin akan mendapatkan kemenangan karena membanggakan jumlah yang besar. Allah SWT berfirman


لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah 25)
Lafazh (أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ) menunjukkan bahwa kaum muslimin berbangga dengan jumlah yang besar, pada akibatnya mereka bercera-berai.
Penyakit ujub juga dapat muncul ketika seseorang atau sebuah jama’ah merasa dirinya lebih baik atau lebih suci daripada orang atau jama’ah lain. Padahal Allah SWT berfirman

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“…Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm 32)
Selayaknya, aktivis da’wah seperti halnya orang-orang yang memakmurkan masjid adalah orang-orang yang gemar membersihkan diri (at Taubah 108). Sebab aktivis da’wah bukanlah orang yang bersih dari dosa. Taubat dan muhasabah adalah alat untuk mengevaluasi diri dan jamaah, sejauh mana kelurusan niat dan langkah dakwahnya.

0 comments: